Review Buku : Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)


Tetralogi Buru

Bumi Manusia, tampaknya akhir-akhir ini menjadi perbincangan di kalangan anak muda tanah air. Roman karya Pramoedya Ananta Toer ini kembali naik daun sejak kabar akan difilmkannya cerita dalam novel ini dengan judul yang sama. Filmya sendiri akan mulai ditayangkan di bioskop-bioskop mulai tanggal 15 Agustus 2019. Sebelum menonton filmnya, tak ada salahnya kita membahas novel yang melatarbelakangi film tersebut.

Ditulis dari dalam penjara dan dicekal pemerintah

Buku “Bumi Manusia” merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). Tetralogi ini ditulis saat Pram (Pramoedya Ananta Toer) mendekam di penjara  Pulau Buru dari 1969 hingga 1979. Oleh pemerintahan Orde Baru saat itu, Pram dianggap terlibat dalam pemberontakan G30S PKI, sehingga ia harus dijebloskan kedalam rumah pesakitan tersebut tanpa adanya proses pengadilan. Hingga akhirnya ia dikeluarkan dari penjara pada tahun 1979, Pram pun menghasilkan karya sastra besar yang terbit pada tahun 1980, Bumi Manusia.

Pemikiran Pram yang dituangkan dalam buku ini dianggap mampu membuka pemikiran para pembacanya untuk bergerak, menghentikan pmerintahan yang otoriter dan tidak adil. Walaupun buku ini berlatar belakang pada  masa kolonial Belanda, pemerintahan Orde Baru kala itu dianggap tak jauh berbeda dengan masa kolonial. Sehingga buku ini dianggap dapat melemahkan posisi pemerintah,dan pada aakhirnya buku ini dilarang beredar pada tahun 1981 oleh Jaksa Agung.

Latar belakang

Cerita dalam buku ini berlatar belakang di sekitaran kota Surabaya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa itu kolonial Belanda masih menguasai wilayah Nusantara yang mereka sebut sebagai Hindia Belanda. Di masa itu, diceritakan bahwa perempuan-perembuan pribumi sangat rendah derajatnya, mereka layaknya hewan peliharaan yang mudah dijual dan dibeli oleh para lelaki. Selain itu pada masa tersebut, pendikan juga sangat sulit didapatkan oleh para pribumi. Hanya anak-anak pribumi yang berkuasa yang dapat menempuh pendidikan, tak seperti golongan Eropa dan Indo yang mudah mendapatkan pendidikan.

Para Tokoh

Terdapat tiga tokoh utama dalam buku ini, Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema. Minke sendiri adalah seorang pribumi cerdas yang mampu menempuh pendidikan Eropa di sekolah H.B.S., Surabaya. Minke sangat memuja bagaimana kemajuan pemikiran orang-orang Eropa, hingga ia sendiri melupakan dan membenci budaya nya sendiri, budaya Jawa.  Minke berteman dengan Robert Suhoof, seorang Indo yang kemudian mengajak Minke untuk berkunjung ke Boerderij Buitenzorg,sebuah rumah milik seorang Belanda bernama Herman Mellema. Ditempat itulah Minke bertemu dengan Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema.



Nyai Ontosoroh sendiri merupakan seorang gundik Herman Mellema. Ia melahirkan dua orang anak bernama Robert Mellema dan Annelies Mellema. Namun tak seperti gundik lainnya, Nyai Ontosoroh merupakan wanita  pribumi cerdas yang perkasa. Ia bahkan mampu menjalankan perusahaan Herman Mellema seorang diri, hal yang masih sangat langka di kalangan wanita saat itu bahkan di Eropa. Hal ini membuat Minke penasaran dengan sosok  nyai tersebut, siapakah dia sebenarnya? apakah pendidikannya? Kenapa seorang wanita cerdas bisa menjadi gundik seorang eropa?

Annelies Mellema, putri dari Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema digambarkan oleh Pram sebagai sesosok wanita cantik yang kecantikannya melebihi wanita-wanita eropa lainnya. Walaupun ia seorang Indo, Annelies menganggap dirinya sebagi pribumi seperti ibunya. Di usianya yang masih muda, ia harus bekerja keras membantu ibunya mengurus perusahaanya. Walaupun demikian masih terdapat jiwa kekanak-kanakan pada dirinya sehingga apa saja yang ia minta harus dituruti oleh ibunya. Kecantikan pada dirinya juga membuat Minke jatuh hati dengannya. Bagaimana hubungan Minke dengan Annelies?



Derita pribumi

Menjadi pribumi dan dijajah oleh bangsa asing pada saat itu tentulah tidak mudah. Walaupun Minke menempuh pendidikan di sekolah eropa, ia tetap mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan dari para siswa dan guru yang ada di H.B.S. Hak-hak wanita pada saat itu juga sangat rendah,terutama wanita pribumi. Mereka yang menjadi “gundik” dari para lelaki Eropa dibeli dengan mudah dari para orangtua, hanya untuk uang dan kedudukan. Di mata masyrakat, mereka hanyalah sampah masyarkat dan manusia tak bermoral yang memiliki anak tanpa adanya ikatan pernikahan. Anak mereka akan menjadi golongan Indo apabila diakui oleh ayahnya dan hanya akan menjadi pribumi jika tidak diakui oleh ayahnya. Para gundik pribumi juga tidak memiliki hak atas apapun yang dimilikinya, bahkan anaknya.

Tampilan buku




Buku setebal 551 halaman ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Sampul depannya menurut saya sangat menarik, dengan menampikan dua orang wanita dan dua orang pria. Saya rasa mereka berempat merupakan gambaran dari tokoh-tokoh utama pada buku ini. Buku ini juga tidak memiliki daftar isi, jadi saat membacanya kita tidak akan tahu sampai halaman berapa bab akan berganti. Dengan demikian, pembaca akan dibuat terus penasaran dengan cerita selanjutnya. Setelah membaca buku ini, saya rasa memang layak dan pantas jika buku ini menjadi salah satu karya sastra terbesar anak bangsa. Seperti yang dikatakan sang penulis, buku ini merupakan “Sumbangan Indonesia untuk Dunia”. Buku ini juga telah ditermahkan kedalam berbagai bahasa.

Buku dapat dengan mudah ditemukan di took-toko buku terdekat. Harga yang dibandrol mulai dari Rp 132.000 sesuai lokasi. Selamat membaca.



Komentar

  1. Review-nya jelas, teratur keren dan mirip kek di filmnya
    Terimakasih dan semangat yah 🔥

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih banyak, nantikan review-review selanjutnya

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips dan trik paling ampuh agar menang Giveaway berkali-kali

Review Buku : MANTAPPU JIWA (Jerome Polin)

Review Buku : Feral, Pengendali Gagak (Jacob Grey)

Kunjungi juga Instagram saya