Review Buku : Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Ditulis dari dalam penjara dan
dicekal pemerintah
Buku “Bumi Manusia” merupakan bagian
pertama dari Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan
Rumah Kaca). Tetralogi ini ditulis saat Pram (Pramoedya Ananta Toer) mendekam
di penjara Pulau Buru dari 1969 hingga
1979. Oleh pemerintahan Orde Baru saat itu, Pram dianggap terlibat dalam
pemberontakan G30S PKI, sehingga ia harus dijebloskan kedalam rumah pesakitan
tersebut tanpa adanya proses pengadilan. Hingga akhirnya ia dikeluarkan dari
penjara pada tahun 1979, Pram pun menghasilkan karya sastra besar yang terbit
pada tahun 1980, Bumi Manusia.
Pemikiran Pram yang dituangkan
dalam buku ini dianggap mampu membuka pemikiran para pembacanya untuk bergerak,
menghentikan pmerintahan yang otoriter dan tidak adil. Walaupun buku ini
berlatar belakang pada masa kolonial
Belanda, pemerintahan Orde Baru kala itu dianggap tak jauh berbeda dengan masa
kolonial. Sehingga buku ini dianggap dapat melemahkan posisi pemerintah,dan
pada aakhirnya buku ini dilarang beredar pada tahun 1981 oleh Jaksa Agung.
Latar belakang
Cerita dalam buku ini berlatar
belakang di sekitaran kota Surabaya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pada masa itu kolonial Belanda masih menguasai wilayah Nusantara yang mereka
sebut sebagai Hindia Belanda. Di masa itu, diceritakan bahwa
perempuan-perembuan pribumi sangat rendah derajatnya, mereka layaknya hewan
peliharaan yang mudah dijual dan dibeli oleh para lelaki. Selain itu pada masa
tersebut, pendikan juga sangat sulit didapatkan oleh para pribumi. Hanya
anak-anak pribumi yang berkuasa yang dapat menempuh pendidikan, tak seperti
golongan Eropa dan Indo yang mudah mendapatkan pendidikan.
Para Tokoh
Terdapat tiga tokoh utama dalam
buku ini, Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema. Minke sendiri adalah seorang
pribumi cerdas yang mampu menempuh pendidikan Eropa di sekolah H.B.S.,
Surabaya. Minke sangat memuja bagaimana kemajuan pemikiran orang-orang Eropa,
hingga ia sendiri melupakan dan membenci budaya nya sendiri, budaya Jawa. Minke berteman dengan Robert Suhoof, seorang
Indo yang kemudian mengajak Minke untuk berkunjung ke Boerderij Buitenzorg,sebuah
rumah milik seorang Belanda bernama Herman Mellema. Ditempat itulah
Minke bertemu dengan Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema.
Nyai Ontosoroh sendiri merupakan
seorang gundik Herman Mellema. Ia melahirkan dua orang anak bernama Robert
Mellema dan Annelies Mellema. Namun tak seperti gundik lainnya, Nyai Ontosoroh
merupakan wanita pribumi cerdas yang
perkasa. Ia bahkan mampu menjalankan perusahaan Herman Mellema seorang diri,
hal yang masih sangat langka di kalangan wanita saat itu bahkan di Eropa. Hal
ini membuat Minke penasaran dengan sosok
nyai tersebut, siapakah dia sebenarnya? apakah pendidikannya? Kenapa
seorang wanita cerdas bisa menjadi gundik seorang eropa?
Annelies Mellema, putri dari Nyai
Ontosoroh dan Herman Mellema digambarkan oleh Pram sebagai sesosok wanita
cantik yang kecantikannya melebihi wanita-wanita eropa lainnya. Walaupun ia
seorang Indo, Annelies menganggap dirinya sebagi pribumi seperti ibunya. Di
usianya yang masih muda, ia harus bekerja keras membantu ibunya mengurus
perusahaanya. Walaupun demikian masih terdapat jiwa kekanak-kanakan pada
dirinya sehingga apa saja yang ia minta harus dituruti oleh ibunya. Kecantikan pada dirinya juga membuat Minke jatuh hati dengannya. Bagaimana hubungan Minke dengan Annelies?
Derita pribumi
Menjadi pribumi dan
dijajah oleh bangsa asing pada saat itu tentulah tidak mudah. Walaupun Minke
menempuh pendidikan di sekolah eropa, ia tetap mendapatkan perilaku yang tidak
menyenangkan dari para siswa dan guru yang ada di H.B.S. Hak-hak wanita pada
saat itu juga sangat rendah,terutama wanita pribumi. Mereka yang menjadi
“gundik” dari para lelaki Eropa dibeli dengan mudah dari para orangtua, hanya
untuk uang dan kedudukan. Di mata masyrakat, mereka hanyalah sampah masyarkat
dan manusia tak bermoral yang memiliki anak tanpa adanya ikatan pernikahan.
Anak mereka akan menjadi golongan Indo apabila diakui oleh ayahnya dan hanya
akan menjadi pribumi jika tidak diakui oleh ayahnya. Para gundik pribumi juga
tidak memiliki hak atas apapun yang dimilikinya, bahkan anaknya.
Tampilan buku
Buku setebal 551 halaman ini
diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Sampul depannya menurut saya sangat
menarik, dengan menampikan dua orang wanita dan dua orang pria. Saya rasa
mereka berempat merupakan gambaran dari tokoh-tokoh utama pada buku ini. Buku
ini juga tidak memiliki daftar isi, jadi saat membacanya kita tidak akan tahu
sampai halaman berapa bab akan berganti. Dengan demikian, pembaca akan dibuat
terus penasaran dengan cerita selanjutnya. Setelah membaca buku ini, saya rasa memang
layak dan pantas jika buku ini menjadi salah satu karya sastra terbesar anak
bangsa. Seperti yang dikatakan sang penulis, buku ini merupakan “Sumbangan
Indonesia untuk Dunia”. Buku ini juga telah ditermahkan kedalam berbagai bahasa.
Buku dapat dengan mudah ditemukan
di took-toko buku terdekat. Harga yang dibandrol mulai dari Rp 132.000 sesuai
lokasi. Selamat membaca.
Review-nya jelas, teratur keren dan mirip kek di filmnya
BalasHapusTerimakasih dan semangat yah 🔥
Terimakasih banyak, nantikan review-review selanjutnya
Hapus